Kunjungan Presiden Macron ke Indonesia

Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 27–29 Mei 2025 sebagai bagian dari rangkaian diplomasi di kawasan Asia Tenggara. Didampingi Ibu Negara Brigitte Macron, kunjungan ini memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Prancis di berbagai bidang strategis. Sambutan Resmi dan Pertemuan Bilateral Setibanya di Jakarta, Presiden Macron disambut secara resmi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka. Dalam pertemuan bilateral, kedua pemimpin sepakat memperkuat kemitraan strategis Indonesia-Prancis hingga tahun 2050. Penandatanganan 21 Kesepakatan Strategis Sebanyak 21 dokumen kerja sama ditandatangani oleh kedua negara dalam berbagai sektor, termasuk: Pertahanan: Pengadaan 42 jet tempur Rafale, dua kapal selam Scorpène Evolved, dan 13 sistem radar. Energi: Proyek hidrogen hijau di Indonesia Timur. Keuangan: Kolaborasi antara Bank Indonesia dan Banque de France. Pendidikan & Budaya: Program pertukaran pelajar, pelestarian warisan budaya, dan kerja sama antar lembaga pendidikan. Isu Global dan Undangan Khusus Presiden Macron dan Presiden Prabowo juga membahas isu global seperti konflik di Gaza, menegaskan pentingnya solusi dua negara. Selain itu, Presiden Macron mengundang Presiden Prabowo sebagai tamu kehormatan dalam perayaan Hari Bastille di Paris. Kunjungan ke Magelang dan Borobudur Sebagai bagian dari agenda, kedua pemimpin mengunjungi Akademi Militer di Magelang untuk meninjau laboratorium bahasa Prancis, dilanjutkan dengan kunjungan ke Candi Borobudur sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya. Kunjungan Presiden Macron mencerminkan hubungan erat dan kerja sama strategis yang terus berkembang antara Indonesia dan Prancis. Dengan sejumlah kesepakatan penting dan dialog terbuka mengenai isu global, kedua negara memperkuat posisi mereka dalam kerja sama internasional yang berkelanjutan.

Agus Buntung Divonis 10 Tahun Penjara atas Kasus Pelecehan Seksual

Kasus hukum yang menimpa I Wayan Agus Suartama, yang lebih dikenal dengan nama Agus Buntung, akhirnya mencapai babak akhir di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat. Agus Buntung divonis hukuman penjara selama 10 tahun atas keterlibatannya dalam kasus pelecehan seksual terhadap beberapa korban. Putusan ini menjadi perhatian publik dan menandai langkah serius dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual di Indonesia. Kronologi Kasus Kasus ini bermula ketika laporan dari beberapa korban pelecehan seksual yang menimpa Agus Buntung mulai masuk ke pihak berwajib. Setelah dilakukan penyelidikan intensif, Agus Buntung ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani proses hukum. Persidangan yang berjalan beberapa bulan ini mengungkap sejumlah fakta terkait tindak pidana yang dilakukannya. Beberapa saksi dari pihak korban memberikan kesaksian yang menguatkan dakwaan terhadap Agus Buntung. Meski tim penasihat hukum terdakwa mengajukan pembelaan dan berupaya mereduksi tuduhan, bukti dan kesaksian yang ada cukup kuat untuk membuktikan keterlibatan Agus dalam tindak pelecehan tersebut. Amar Putusan Pengadilan Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram, dalam amar putusannya, menyatakan bahwa Agus Buntung terbukti melakukan tindak pidana pencabulan berulang kali terhadap beberapa korban. Perbuatan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya pasal yang mengatur tentang pelecehan dan kekerasan seksual. Hakim memutuskan hukuman penjara selama 10 tahun bagi Agus Buntung dan mengenakan denda sebesar Rp100 juta. Jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Vonis ini memang lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya meminta 12 tahun penjara, namun hakim mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan. Pertimbangan Hakim Dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah faktor yang dianggap meringankan hukuman Agus Buntung, antara lain: Usia Agus yang masih relatif muda, yaitu 22 tahun. Sikap Agus yang dinilai sopan dan kooperatif selama jalannya persidangan. Harapan agar terdakwa dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan serupa di masa depan. Meski demikian, hakim menegaskan bahwa pelanggaran yang dilakukan cukup serius dan menimbulkan dampak psikologis yang berat bagi para korban, sehingga hukuman yang dijatuhkan harus tegas dan memberikan efek jera. Reaksi dan Langkah Hukum Selanjutnya Tim kuasa hukum Agus Buntung menyatakan akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Mereka beralasan bahwa beberapa bukti dan fakta persidangan belum diperhitungkan secara menyeluruh oleh majelis hakim. Salah satu poin utama dalam pembelaan mereka adalah minimnya saksi yang menyaksikan langsung perbuatan terdakwa, sehingga dianggap perlu untuk mengupayakan proses hukum lanjutan. Sementara itu, kalangan masyarakat dan organisasi perlindungan korban kekerasan seksual menyambut baik vonis ini sebagai bentuk keadilan yang mulai ditegakkan di Indonesia. Mereka berharap putusan tegas seperti ini dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi korban dan menjadi peringatan bagi pelaku kekerasan seksual. Dampak dan Implikasi Kasus Kasus Agus Buntung menjadi sorotan penting dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual di Indonesia, khususnya di lingkungan yang masih sering mengalami stigma dan minimnya kesadaran hukum. Vonis ini diharapkan mampu memberikan edukasi kepada masyarakat luas tentang seriusnya konsekuensi hukum atas tindakan pelecehan seksual. Selain itu, proses hukum yang transparan dan adil dalam kasus ini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Penanganan kasus kekerasan seksual yang tuntas dan tegas juga akan membuka ruang bagi korban untuk lebih berani melapor tanpa takut mendapatkan stigma negatif. Vonis 10 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Agus Buntung merupakan bagian dari upaya penegakan hukum terhadap kejahatan seksual di Indonesia. Meski ada perbedaan tuntutan dan putusan, keputusan hakim menegaskan bahwa tindakan pelecehan seksual adalah pelanggaran serius yang harus mendapatkan sanksi tegas. Perjalanan hukum yang masih berlanjut dengan rencana banding dari terdakwa menjadi pengingat bahwa sistem peradilan harus terus dijaga agar berjalan adil dan transparan. Bagi masyarakat, kasus ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap korban kekerasan seksual serta memperkuat penegakan hukum.