Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali melanjutkan langkah tegas dalam penanganan kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau pgatoto Sritex. Kali ini, Kejagung menyita enam bidang tanah dengan total luas 20.027 meter persegi yang diduga terkait dengan hasil tindak pidana dari kasus korupsi tersebut. Latar Belakang Kasus Korupsi Sritex Kasus Sritex bermula dari dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit perbankan yang diberikan kepada perusahaan tersebut. Dalam penyelidikan, ditemukan adanya indikasi kuat bahwa dana kredit tersebut tidak digunakan sesuai peruntukan, melainkan dialihkan ke berbagai aset pribadi dan perusahaan terkait. Beberapa pejabat bank serta pihak internal Sritex pun diduga terlibat dalam proses pemberian dan pemanfaatan kredit tersebut. Dari hasil penyidikan, Kejagung menemukan adanya aliran dana yang mengarah pada praktik pencucian uang, termasuk pembelian tanah dan aset properti lainnya atas nama pihak-pihak tertentu. Rincian Aset yang Disita Penyitaan enam bidang tanah seluas 20.027 m² ini merupakan bagian dari upaya Kejagung dalam mengamankan aset-aset yang berpotensi menjadi barang bukti atau hasil tindak pidana. Tanah-tanah tersebut tersebar di beberapa lokasi strategis dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, penyitaan ini juga menambah daftar aset yang telah lebih dulu disita oleh Kejagung. Secara total, luas tanah yang telah disita dari para pihak terkait kasus Sritex mencapai lebih dari 50 hektare, dengan nilai taksiran mencapai ratusan miliar rupiah. Langkah ini menjadi bagian dari strategi untuk memastikan tidak ada aset hasil korupsi yang hilang, dialihkan, atau dijual sebelum proses hukum selesai. Proses Hukum dan Dasar Penyitaan Kejagung menegaskan bahwa penyitaan dilakukan berdasarkan izin resmi dari pengadilan. Setiap bidang tanah yang disita telah melalui proses verifikasi dokumen kepemilikan dan keterkaitannya dengan dugaan tindak pidana. Langkah hukum ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan dasar hukum tersebut, penyidik berwenang untuk menelusuri dan menyita aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi maupun pencucian uang. Tujuan dan Dampak Penyitaan Mencegah Pengalihan Aset Penyitaan tanah bertujuan agar para tersangka tidak dapat memindahtangankan atau menjual aset sebelum proses hukum selesai. Ini penting untuk memastikan bahwa aset yang diduga berasal dari hasil kejahatan tetap dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Pemulihan Kerugian Negara Apabila pengadilan memutuskan bahwa aset tersebut memang terkait dengan tindak pidana, maka tanah-tanah yang disita dapat dilelang untuk memulihkan kerugian negara akibat kredit bermasalah. Memberi Efek Jera Langkah tegas Kejagung juga diharapkan memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan keuangan agar tidak memanfaatkan celah hukum untuk memperkaya diri melalui dana publik atau fasilitas bank. Tindak Lanjut dan Harapan Kejagung berencana untuk terus menelusuri aset lain yang masih berhubungan dengan kasus ini. Penelusuran dilakukan tidak hanya di wilayah Jawa Tengah, tetapi juga di berbagai daerah yang diduga menjadi tempat penyimpanan atau pengalihan hasil kejahatan. Dengan langkah tegas ini, Kejagung menunjukkan komitmen dalam menegakkan hukum dan menjaga integritas keuangan negara. Harapannya, penyitaan aset seperti enam bidang tanah ini dapat menjadi contoh nyata bahwa setiap tindak pidana korupsi akan ditindak secara menyeluruh, tidak hanya terhadap pelaku tetapi juga terhadap hasil kejahatannya. Penyitaan enam bidang tanah seluas 20.027 m² oleh Kejagung menjadi bagian penting dalam pengungkapan kasus korupsi dan TPPU Sritex. Tindakan ini menunjukkan komitmen serius pemerintah dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Selain melindungi aset negara, langkah ini juga memperkuat pesan bahwa tidak ada pelaku korupsi yang dapat bersembunyi di balik harta hasil kejahatan.